Jumat, 22 Januari 2016

Nestapa sebuah Doa



Sodiq adalah anak penggembala kambing yang saleh. Suatu saat, seekor anak kambingnya terperangkap dalam kerumunan singa. Sodiq kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba dia teringat akan apa yang diajarkan oleh sang ustadz saat mengaji di musholla, bahwa dalam kondisi nadir tuhan akan datang menolongnya. Maka, dia pun berdoa agar tuhan menolongnya membebaskan anak kambing dari terkaman singa.

Dia berlutut dan berdoa dengan konsentrasi tinggi. Namun,beberapa menit kemudian, terdengar anak kambing melenguh panjang dan “buuuugg…!!!”, badannya terjatuh tanpa nyawa untuk selanjutnya dirobek-robek singa.

Sampai habis daging dan tulang anak kambing, tuhan tidak juga muncul menolongnya. Akhirnya dia pulang dengan tangis tersedu mengadu bahwa Tuhan tidak kunjung datang ketika dia minta tolong membebaskan anak kambing dari terkaman singa. Dalam pikirnya dia bergumam bahwa Tuhan tidak adil, Bahkan sampai terbawa tidur dan terbangun di esok harinya,masih terngiang dalam benaknya bahwa tuhan pun tidak pernah datang.

Yang justru datang ke tempat dimana anak kambing itu dihabiskan oleh singa adalah seseorang yang kebetulan lewat dekat dia menggembala kambingnya. Dia bukan tuhan, hanya manusia biasa. Namun dia datang ke tempat dimana Sodiq mengharapkan tuhan datang.

Urgensi doa bagi seorang hamba.
Sepenggal kisah diatas barangkali menggelitik kita semua yang mengaku diri kita waras bahwa Doa bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita dan dalam benak kita. Insya Allah kita semua telah melakukannya dan telah mengerti maksud dan pengertiannya. Namun, terkadang kita lupa mengerjakannya bila tidak mengalami masalah atau musibah. Karena itu, perlu sekali kita mengetahui urgensi doa dalam kehidupan agar memotivasi untuk memperbanyak doa.

Namun disisi lain kita harus menyadari bahwa segala peristiwa dalam hidup tidak berjalan seperti logika matematika. Kisah perang Hunain mengajarkan kepada kita betapa kelirunya manusia jika percaya sepenuhnya dengan logika matematika itu. Logika matematika dapat dirumuskan : 
“Pasukan dengan jumlah yang banyak pasti menang melawan pasukan dengan jumlah yang sedikit.” 

Pada kenyataannya, terjadi sebaliknya jumlah yang sedikit justru mengalahkan pasukan yang banyak. Kecongkakan pasukan mukmin yang banyak itu terlihat dari kepercayaan mereka terhadap banyaknya jumlah mereka. Sikap kecongkakan itu ada dalam kesadaran mereka sebab kepercayaan terhadap logika matematika itu. Mereka tidak lagi percaya pada perwujudan pertolongan Allah. Padahal mereka telah membuktikannya berulang kali dalam kehidupan mereka.

Barangkali kita pernah menyaksikan dan mendengar perkataan si kaya : 
”Saya akan bayar berapapun agar saya bisa muda kembali.” 
Ungkapan itu menunjukkan fakta eksternal dari orang yang tidak mendapatkan pertolongan-Nya. Fakta ekstenal itu : banyaknya harta tidak memberikan manfaat sedikitpun kepadanya. Fakta eksternal itu memiliki hubungan dengan segala hal di hadapannya. Hal itu disaksikan saat Allah mengambil kembali pertolongan-Nya. Jika banyaknya harta itu tidak memberikan manfaat sedikitpun maka bagaimana dengan sedikitnya? Tentunya harta yang sediikit lebih tidak memberikan manfaat kepadanya karena ia tidak mendapatkan pertolongan-Nya. Betapa sialnya seseorang, jika banyaknya harta benda tidak memberikan manfaat sedikitpun kepadanya. Pastinya manusia dengan banyaknya harta benda akan mengalami kesulitan luar biasa saat mewujudkan impian. Meskipun impian itu bisa dibilang mudah sekali.

Tanpa pertolongan Allah, kita pasti mengalami fakta eksternal bahwa banyaknya jumlah yang banyak tidak memberikan manfaat sedikitpun tapi juga merasakan fakta internal : bumi yang luas itu terasa sempit olehnya. Fakta internal ini lebih berhubungan dengan kondisi pikiran. Dalam keadaan seperti ini, orang tidak lagi memiliki kecerdasan dalam memahami dunia luar. Kita tahu bahwa dunia itu terhamparkan luas di hadapannya. Tapi apa yang disaksikan oleh pikirannya hanyalah kesempitan luar biasa. 

Dengan begitu, berbagai hal di hadapannya tidak lagi memberikan manfaat sedikitpun kepadanya. Jelasnya, kita dapat menarik dua indikator penting saat Allah tidak memberikan pertolongan-Nya kepada manusia. Indikator pertama adalah hilangnya kecerdasan spiritual. Sedangkan indikator kedua adalah kesialan luar biasa dengan berbagai hal di hadapannya.

Siap menerima hasil apa pun setelah kita berdoa dan berikhtiar dengan sungguh-sungguh. Inilah yang disebut percaya kepada takdir Allah yang baik ataupun yang buruk.
Percaya kepada takdir, sebagai bagian dari Rukun Iman, akan melahirkan jiwa syukur saat kita sukses dan akan bersabar saat kita mengalami kegagalan atau musibah. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: